BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Pola Kehidupan Siswa
1.
Pengertian Pola Kehidupan
Pola kehidupan dapat
dipahami sebagai pola tingkah laku sehari-hari manusia di dalam keluarga /
masyarakat. Pola kehidupan dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang
memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan. Pengertian
pola kehidupan menurut KBBI adalah “Pola adalah sistem atau cara.”[1]
Sedangkan “kehidupan adalah cara (keadaan, hal) hidup orang di desa berbeda
dengan orang hidup di kota.” [2]
“Secara
konseptual dan teoritis pola kehidupan siswa adalah suatu bagian dari
dasar-dasar suatu bagian kebudayaan. Menurut kalangan antropolog biasanya
“pola” sendiri merupakan suatu cultural
activity atau trait complex atau
kegiatan-kegiatan yang sudah membudaya. Maka di sini pola kehidupan siswa itu
adalah suatu aktivitas yang membudaya dalam diri manusia. secara lebih besar
akan berkaitan dengan satu samalain dengan kehidupan lingkungan-lingkungan
lainnya sebagai elemen-elemen di dalam kehidupan yang besar tersebut.”[3]
Pola
kehidupan besar pengaruhnya terhadap perilaku hidup seseorang, baik itu dewasa,
remaja, maupun anak-anak. Bagi seorang yang telah tamat belajar jenjang
pendidikan formal, pola kehidupan sangat berpengaruh terhadap perilaku
sehari-harinya, dan bagi seseorang yang masih berada dalam jenjang pendidikan
formal yaitu siswa, pola kehidupan berpengaruh terhadap perilaku dan hasil
belajarnya.
“Pola
hidup adalah cara kita berperilaku sehari-hari, sejak bangun tidur hingga tidur
lagi, misalnya tidur, makan, mandi, berolahraga, dan belajar. Pola hidup dapat
disamakan dengan kebiasaan. Bila kita memiliki kebiasaan buruk, berarti kita
juga memiliki pola hidup yang buruk, begitu pun sebaliknya. Kebisaan yang baik
menandakan kita telah melakukan pola hidup yang baik.”[4]
2.
Macam-macam Pola Kehidupan
a. Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua diapresiasikan anak
sebagai bantuan, bimbingan, dan dorongan untuk membentuk pengembangan diri anak
menjadi pribadi yang berkarakter. Orang tua atau pendidik hendaknya mampu
memancarkan kewibawaan pada diri anak. Orang tua yang mampu berbuat demikian, akan
senantiasa menampilkan perilaku yang konsisten antara ucapan dan perbuatannya
serta menghargai sesuatu yang dimiliki oleh anak, termasuk perilaku yang ada
pad anak.
”Orang tua atau pendidik yang menjadi teladan bagi anak
adalah yang pada saat bertemu atau tidak dengan anak senantiasa berprilaku yang
taat terhadap nilai-nilai moral. Dengan demikian mereka senantiasa patut
dicontoh karena tidak sekadar memberi contoh. Orang tua atau pendidik yang
mampu berperilaku seperti di atas telah menyadari bahwa perilakunya yang tidak
disadari untuk dicontohkan, oleh anak dapat dijadikan bahan imitasi dan
identifikasi perilaku orang tua atau pendidik yang oleh pendidik atau orang tua
tidak disadari sebagai bantuan bagi anak-anak.”[5]
Dari uraian tentang hal yang menyangkut
pola asuh orang tua terhadap anak tersebut, diharapkan orang tua dapat membuat
satu kesimpulan tentang tindakan sikap yang akan dipilih dan dipergunakan dalam
mendidik anak, adapun tindakan/sikap tersebut antara lain:
1)
Memancarkan
kewibawaan sebagai orang tua dengan senantiasa menjadi panutan dan kebanggaan
bagi anak.
2)
Tidak
terlalu memanjakan anak
3)
Menerapkan
sistem demokrasi dan kebersamaan dalam membahas serta mengambil suatu
keputusan, baik yang menyangkut masalah pribadi anak maupun masalah keluarga. [6]
4)
Memberikan
kesempatan terhadap anak untuk dapat secara leluasa mengembangkan diri, minat,
bakat, dan tanggung jawabnya.
5)
Melakukan
dialog dengan anak agar orang tua dapat mengenali anak secara tepat, yang
merupakan modal dasar untuk mendidik anak secara tepat. [7]
6)
Memberi
penghargaan atau ucapan selamat atas prestasi yang telah di raih oleh anak.
7)
Tidak
membuat anak merasa terasingkan dalam keluarga.
b. Pola Hidup Sehat
Pola hidup sehat adalah upaya untuk
memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau, serta mampu melakukan
perilaku hidup sehat.
Manusia hidup membutuhkan makanan, baik
makanan pokok maupun makanan tambahan atau pelengkap, meskipun hidup tidak
sekedar untuk makan. Oleh karena itu hendaknya orang tua meyakini bahwa segala
yang di makan oleh anak akan membawa dampak baik atau buruk bagi hasil belajar.
Anak akan lebih baik bila diberi makanan yang bermutu dan halal.
Makanan yang bermutu dapat dikatakan sebagai
makanan yang memenuhi standar kesehatan salah satunya adalah yang memiliki
kandungan gizi dan vitamin yang cukup.
”Sumber dan perolehan makanan sudah tentu banyak sekali
ragamnya. Dalam hal ini, yang patut diperhatikan adalah bahwa sumber dan cara
itu tidak melawan hukum, baik hukum agama maupun hukum negara dan hukum-hukum
lainnya yang mengatur kehidupan manusia di alam dunia ini. Manakala makanan
yang dimakan itu bertentangan dengan hukum, terutama hukum agama, maka bisa
jadi termasuk kategori ’barang haram’.”[8]
Perihal makanan ini pada dasarnya bukan
hanya terbatas hal yang mempengaruhi pendidikan anak dan hasil belajarnya,
melainkan termasuk juga pendidikan anak pada jenjang berikutnya.
c. Pola kehidupan Sosial
“Elemen-elemen
kehidupan sosial siswa terdapat sebuah disiplin sosial, yang secara sosiologis
dapat diartikan suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut
ketertiban umum”.[9] Faktor
besar yang menyebabkan terjadinya kenakalan pada anak adalah kawan yang tidak
baik dan lingkungan yang buruk. Terlebih lagi bila anak tersebut merupakan anak
yang pandai dan cepat terpengaruh dalam pergaulan.
Bila
anak yang demikian temannya berkelakuan baik, rajin belajar, dan taat pada
agama, maka ia pun akan terpengaruh menjadi anak yang rajin belajar, dan
berkelakuan baik, sehingga hasil belajar di sekolah pun akan baik pula. Namun,
bila anak tersebut bergaul dengan teman yang tidak baik, malas belajar, dan
berperilaku tercela, maka ia pun akan cepat terpengaruh menjadi anak yang tidak
baik, dan malas belajar.
“Agama
Islam dengan pola pendidikannya yang Islami mengarahkan para orang tua untuk
memberikan pengawasan yang ketat terhadap anak-anak mereka, terlebih anak masuk
usia pubertas.”[10] Islam juga mengajarkan bagaimana cara
memilih teman yang baik, agar anak dapat menyerap akhlak yang mulia dan
kebiasaan yang baik, sehingga anak-anak tidak terjerumus ke dalam perilaku
menyimpang.
3.
Manfaat Memahami Pola Kehidupan
a. Dapat menerapkan pola kehidupan yang
baik
b. Dapat belajar dengan baik[11]
c. Mendapatkan hasil belajar yang baik
d. Perpikir positif dan sehat[12]
e. Mendapatkan kehidupan dan interaksi
sosial yang baik[13]
4.
Pengertian Siswa
”Siswa atau bisa juga disebut peserta
didik merupakan objek penting dalam ilmu pendidikan. Begitu pentingnya faktor
peserta didik ini dalam pendidikan, sehingga ada aliran pendidikan yang
menempatkan anak sebagai pusat dalam segala usaha pendidikan (Aliran Child Centered).”[14]
Pengertian siswa menurut Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 (satu) ayat 4 (empat) adalah: ”Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu.”[15]
Siswa merupakan orang yang dituntuntut
untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, berusaha, dan memusatkan
perhatian menuju ridha Allah. Sebagai mana yang diterangkan dalam dunia
tasawuf, yakni:
”Peserta didik atau murid adalah orang yang menerima pengetahuan dan bimbingan dalam
melaksanakan amal ibadahnya, dengan memusatkan segala perhatian dan usahanya
kearah itu, melepas segala kemauannya dengan menggantungkan diri dan nasibnya
kepada Iradah Allah.”[16]
Sedangkan siswa diartikan oleh
Ramayulis adalah:
”Peserta didik adalah salah satu komponen dalam sistem
pendidikan islam. Peserta didik merupakan raw
material (bahan mentah) di dalam proses transformasi yang disebut
pendidikan karena kita menerima materil ini sudah setengah jadi, sedangkan
komponen-komponen lain dapat dirumuskan dan disusun sesuai dengan keadaan
fasilitas dan kebutuhan yang ada”[17]
Di dalam proses pendidikan siswa di
samping sebagai objek juga sebagai subjek. Oleh karena itu agar seorang pendidik
berhasil dalam proses pendidikan, maka ia memahami siswa dengan segala
karakteristiknya. Ramayulis[18]
mendeskripsikan lima kriteria peserta didik:
a.
Peserta didik
bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
b.
Peserta didik
memiliki periodesasi perkembangan dan pertumbuhan.
c.
Peserta didik
adalah makhluk allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh
faktor bawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
d.
Peserta didik
merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik
dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu
e.
Peserta didik
adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan
berkembang secara dinamis.
5.
Hak dan Kewajiban Siswa
a. Hak Siswa
Setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap warga negara berhak atas
kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar.
Sesuai Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 bab 5 pasal 12 ayat
1 Setiap siswa
pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut:[19]
1) Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
2) Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
3) Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi
yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
4) Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang
orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
5) Pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara;
6) Menyelesaikan program pendidikan sesuai
dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan
batas waktu yang ditetapkan.
b. Kewajiban Siswa
Kewajiban adalah sesuatu
yang wajib dilakukan atau dilaksanakan oleh peserta didik. Peserta didik
mempunyai kewajiban, di antaranya yaitu menurut UU RI No.20 tahun 2003 bab 5
pasal 12 ayat 2:[20]
1) Menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan.
2) Ikut menanggung biaya pendidikan kecuali bagi
yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam buku yang ditulis oleh
Ramayulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yakni:[21]
1)
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqaruh kepada
Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk
mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
Allah berfirman:
w y7ΰ ¼çms9 ( y7Ï9ºxÎ/ur ßNöÏBé& O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# ÇÊÏÌÈ
Artinya: “Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".
(QS. Al-An’am: 163)
2)
Mengurangi
kecendrungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
3)
Bersikap
tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya.
4)
Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5)
Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
6)
Belajar
dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang
sukar.
7)
Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga
anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8)
Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9)
Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duaniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu
ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia dan
akhirat.
11) Anak didik harus tunduk pada peserta didik.
B.
Hasil Belajar Siswa Pada
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
1.
Pengertian Belajar
Belajar merupakan faktor
penentu proses perkembangan manusia memperoleh hasil perkembangan berupa
pengetahuan, sikap, keterampilan, keyakinan dan nilai-nilai tingkah laku yang
dimiliki seseorang.
“Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”[22]
Secara sederhana
dari pengertian belajar
sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat di atas, dapat diambil suatu
pemahaman tentang hakekat dari aktivitas belajar adalah suatu perubahan yang
terjadi dalam diri individu.
Bermacam-macam pendapat
tentang pengertian belajar, baik pendapat dari kalangan orang awam, maupun
kalangan ahli pendidikan. Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat para ahli
pendidikan tentang pengertian belajar.
“Skinner, yang dikutip Barlow
dalam bukunya Educational Psychology: The
Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses
adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Chaplin,
dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua rumusan. “Pertama:
belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai
akibat latihan dan pengalaman. Kedua: belajar adalah proses memperoleh
respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus. Hintznan dalam bukunya The Phsychology of Learning and Memory
berpendapat, Learning is a change in
organism due to experience which can affect the organism’s behavior.
Artinya, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme
(manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah
laku organisme tersebut.” [23]
Dalam penjelasan
lanjutannya, pakar psikologi belajar itu menambahkan bahwa pengalaman hidup
sehari-hari dalam bentuk apapun sangat memungkinkan untuk diartikan sebagai
belajar. Alasannya sampai batas tertentu pengalaman hidup juga berpengaruh
besar terhadap pembentukan kepribadian organisme yang bersangkutan. Mungkin,
inilah dasar pemikiran yang mengilhami gagasan everyday learning (belajar sehari-hari) yang dipopulerkan oleh
Profesor John B.Biggs
“Crow and Crow mengatakan: Belajar adalah perubahan untuk memperoleh
kebiasaan, ilmu pengetahuan dan berbagai sikap. Lebih lanjut lagi dikatakan
bahwa belajar mempunyai dua segi vertikal dan horizontal. Belajar secara
vertikal adalah belajar secara teliti untuk memperdalam suatu ilmu yang telah
dipelajari. Sedangkal belajar secara horizontal berarti melengkapi
bagian-bagian yang berfungsi dari suatu unit ilmu pengetahuan dengan maksud
memperluas pengalaman.”[24]
Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi
melalui kebiasaan atau pengalaman, dalam arti perubahan-perubahan yang terjadi pada
diri seorang.
“Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan
belajar sebagai any relatively permanent
change in an organism’s behavioral repertoire that occurs as a result of
experience (belajar perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil
pengalaman).”[25]
Timbulnya aneka
ragam pendapat para ahli tersebut di atas adalah fenomena perselisihan yang
wajar karena adanya perbedaan titik pandang. Selain itu, perbedaan antara satu
situasi belajar dengan situasi belajar lainnya yang diamati para ahli juga
dapat menimbulkan perbedaan pandangan. Situasi belajar menulis, misalnya, tentu
tidak sama dengan situasi belajar matematika. Namun demikian, dalam hal
tertentu yang mendasar mereka sepakat seperti dalam penggunaan istilah “berubah” dan “tingkah laku”.
Dari berbagai definisi
yang telah diutarakan tadi, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
2.
Pengertian Hasil Belajar
Belajar dan
mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Belajar merujuk pada apa
yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek dalam belajar. Sedangkan mengajar
merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang guru sebagai pengajar.
Dua konsep belajar
mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan.
Diantara keduanya terjadi interaksi dengan guru. Kemampuan yang dimiliki siswa
dari proses belajar mengajar saja harus bisa mendapatkan hasil bisa juga
melalui kreatifitas seseorang tanpa adanya intervensi orang lain sebagai
pengajar.
Oleh karena itu hasil belajar yang dimaksud disini adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki seorang siswa setelah ia menerima perlakukan
dari pengajar (guru), seperti yang dikemukakan oleh Nashar. “Hasil belajar adalah merupakan kemampuan
yang di peroleh siswa setelah melalui kegiatan belajar mengajar.”[26]
Dalam hal ini penekanan
hasil belajar adalah terjadinya perubahan dari hasil masukan pribadi berupa
motivasi dan harapan untuk berhasil dan masukan dari lingkungan berupa motivasi
tidak berpengaruh langsung terhadap besarnya usaha yang dicurahkan oleh siswa
untuk mencapai tujuan belajar. Perubahan itu terjadi pada seseorang dalam
kecakapan manusia yang berupa penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dilakukan dalam satu waktu tertentu
atau dalam waktu yang relatif lama dan bukan merupakan suatu proses pertumbuhan.
Suatu proses yang dilakukan dengan usaha dan disengaja untuk mencapai suatu
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil
belajar.
3.
Tujuan Belajar
Tujuan belajar adalah sejumlah hasil
belajar yang menunjukan bahwa siswa telah melakukan tugas belajar, yang umumnya
meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan
tercapai oleh siswa. Tujuan belajar adalah suatu deskripsi mengenai tingkah
laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsungnya proses belajar.
”Tujuan belajar adalah suatu cita-cita yang bernilai normatif.” [27]
Tujuan yang mempunyai jenjang dari yang
luas dan umum sampai kepada yang sempit atau khusus. Semua tujuan itu
berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan tujuan di bawahnya menunjang
tujuan yang di atasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan di
atasnya juga tidak akan tercapai. Sebab rumusan tujuan terendah berpedoman kepada
rumusan tujuan yang di atasnya. Oleh karena itu di dalam rumusan tujuan harus
benar-benar memperhatikan kesinambungan dari setiap jenjang tujuan, terutama
dalam setiap perumusan tujuan pendidikan maupun tujuan pengajaran.
”Tujuan adalah komponen yang dapat mempengaruhi komponen
pengajaran lainnya seperti bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar,
pemilihan metode, alat, sumber, dan alat evaluasi. Semua komponen itu harus
bersesuaian dan didaya gunakan untuk mencapai tujuan seefektif dan seefisien mungkin.”[28]
Selanjutnya,
Benyamin S. Bloom menggolongkan bentuk tingkah laku sebagai tujuan belajar atas
tiga ranah, yakni:
a.
Ranah kognitif berkaitan dengan perilaku yang
berhubungan dengan berfikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Ranah kognitif
menurut Bloom dibedakan atas 6 (enam) tingkatan dari yang sederhana hingga yang
tinggi, yakni:
1)
Pengetahuan (knowledge),
meliputi kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan
dalam ingatan.
2)
Pemahaman (comprehension),
meliputi kemampuan menangkap arti dan makna dari hal yang dipelajari. Ada
tiga subkategori dari pemahaman, yakni:
a)
Translasi, yaitu kemampuan mengubah data yang
disajikan dalam suatu bentuk ke dalam bentuk lain.
b)
Interpretasi, yaitu kemampuan merumuskan
pandanagn baru
c)
Ekstrapolasi, yaitu kemampuan meluaskan trend di
luar data yang diberikan.
3)
Penerapan (application),
meliputi kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang
nyata dan baru.
4)
Analisis (analysis),
meliputi kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga
struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Analisis dapat pula dibedakan
menjadi tiga jenis, yakni:
a)
Analisis elemen, yaitu kemampuan
mengidentifikasi dan merinci elemen-elemen dari suatu masalah atau dari suatu
bagian besar.
b)
Analisis relasi, yaitu kemampuan
mengidentifikasi relasi utama antara elemen-elemen dalam suatu struktur.
c)
Analisis organisasi, yaitu kemampuan mengenal
semua elemen dan relasi dari struktur kompleks.
5)
Sintesis (synthesis),
meliputi kemampuan membentuk suatu pola baru dengan memperhatikan
unsur-unsur kecil yang ada atau untuk membentuk
struktur atau system baru. Dilihat dari segi produknya, sintesis dapat
dibedakan atas:
a)
Memproduksi komunikasi unik, lisan atau tulisan
b)
Mengembangkan rencana atau sejumlah aktivitas
c)
Menurunkan sekumpulan relasi-relasi abstrak
6)
Evaluasi (evaluation),
meliputi kemampuan membentuk pendapat
tentang sesuatu atau beberapa hal dan pertanggungjawabannya berdasarkan
kriteria tertentu
b.
Ranah afektif, berkaitan dengan sikap,
nilai-nilai minat, aspirasi dan penyesuaian perasaan sosial. Ranah afektif
menurut Karthwohl dan Bloom terdiri dari 5 jenis perilaku yang diklasifikasikan
dari yang sederhana hingga yang kompleks, yakni:
1)
Penerimaan (reserving),
yakni sensitivitas terhadap keberadaan fenomena atau stimuli tertentu ,
meliputi kepekaan terhadap hal-hal tertentu, dan kesediaan untuk memperhatikan
hal tersebut.
2)
Pemberian respon (responding), yakni kemampuan memberikan respon secara aktif fenomena
atau stimuli.
3)
Penilaian atau penentuan sikap (valuing), yakni kemmapuan untuk dapat
memberikan penilaian atau pertimbangan terhadap suatu objek atau kejadian
tertentu.
4)
Organisasi (organization),
yakni konseptualisasi dari nilai-nilai untuk menentukan keterkaitan di antara
nilai-nilai.
5)
Karakterisasi, yakni kemampuan yang mengacu pada
karakter dan gaya hidup seseorang.
c.
Ranah psikomotor, mencakup tujuan yang berkaitan
dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik. Ranah psikomotor menurut
Simpson dapat diklasifikasikan atas:
a)
Persepsi (perception),
meliputi kemampuan memilah-milah dua perangsang atau lebih berdasarkan
perbedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing perangsang.
b)
Kesiapan melakukan suatu pekerjaan (set), meliputi kemampuan menempatkan
diri dalam keadaan di mana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan.
c)
Gerakan terbimbing (mechanism), meliputi kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh
atau gerak peniruan.
d)
Gerakan terbiasa, meliputi kemampuan melakukan
suatu rangkaian gerakan dengan lancar, karena sudah dilatih sebelumnya.
e)
Gerakan kompleks (complex overt response), meliputi kemampuan untuk melakukan
gerakan atau keterampilan yang terdiri dari beberapa komponen secara lancar,
tepat dan efisien.
f)
Penyesuaian pola gerakan (adaptation), meliputi kemampuan mengadakan perubahan dan
penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku.
g)
Kreatifitas (creativitas),
meliputi kemampuan melahirkan pola gerak-gerik yang baru atas dasar prakarsa
dan inisiatif sendiri.
4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Untuk mencapai hasil belajar siswa
sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil belajar. Secara global, faktor yang mempengaruhi hasil
belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam. Yakni:
”Faktor internal (Faktor dari dalam diri siswa), yakni
keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa, faktor eksternal (faktor dari luar
diri siswa), yakni kondisi lingkungan disekitar siswa, faktor pendekatan
belajar, yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang
digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran.” [29]
Faktor-faktor di atas sering saling
berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving
terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal)biasanya
cendrung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam.
Seorang siswa yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat
dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), akan memilih pendekatan
belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil belajar. Jadi, karena
faktor-faktor di atas, muncul siswa yang high
achievers (berprestasi tinggi) dan under
achievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini
seorang guru yang kompeten dan profesional diharapkan mampu mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukan gejala
kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor-faktor yang
menghambat proses belajar mereka.
a. Faktor Internal Siswa
Banyak faktor yang ada dalam diri
individu yang mempengaruhi usaha dan keberhasilan belajarnya. Faktor-faktor
tersebut menyangkut aspek jasmaniah maupun rohaniah.
1) Aspek jasmaniah mencakup kondisi dan
kesehatan jasmani. Tiap orang memiliki kondisi fisik yang berbeda, ada yang
dapat bertahan belajar selama lima atau enam jam terus menerus, tetapi ada juga
yang tahan satu atau dua jam saja. Kondisi fisik menyangkut juga kelengkapan
dan kesehatan indra penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan
pencecapan. Indra yang paling penting dalam belajar adalah indra penglihatan
dan pendengaran. Sesorang yang penglihatan atau pendengarannya kurang baik akan
berpengaruh kurang baik pula terhadap usaha dan hasil belajarnya. Kesehatan
merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan belajar.
2) Aspek Psikis
a) Kecerdasan / intelegensi
Adalah kemampuan belajar disertai
kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan
ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu
menunjukan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Adakalanya
perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu anak
dengan anak yang lainnya, sehingga seorang anak pada usia tertentu sudah
memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan teman
sebayanya
b) Bakat
Adalah kemampuan tertentu yang telah
dimiliki seseorang siswa sebagai kecakapan pembawaan. Willian B. Michael
memberikan definisi mengenai bakat sebagai berikut:
”An
aptitude may be defined as a person’s capacity, or hypothetical potential, for
acquisition of a certain more or less weeldefined pattern of behavior in volved
in the performance of a task respect to which the individual has had little or
no previous training.” [30]
Jadi Michael meninjau bakat itu
terutama dari segi kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas, yang sedikit
sekali pembiasaan.
c) Minat
Adalah kecendrungan yang tetap untuk
memperhatikan mengenai beberapa kegiatan. Kegiatan yang dimiliki seseorang
diperhatikan terus menerus yang disertai dengan rasa sayang dan suka.
”Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan
pada suatu hal atau aktifitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya
adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di
luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.”[31]
d) Motifasi
Motifasi dalam belajar adalah faktor
yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong keadaan siswa
untuk belajar. Persoalan mengenai motivasi dalam belajar adalah bagaimana cara
mengatur agar motivasi dapat ditingkatkan. Demikian juga dalam kegiatan belajar
mengajar seorang anak didik akan berhasil jika mempunyai motivasi untuk
belajar.
b. Faktor Eksternal Siswa
Seperti faktor internal siswa, faktor
eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni: faktor lingkungan sosial
dan faktor lingkungan non sosial.
1) Lingkungan Sosial
Yang termasuk lingkungan sosial siswa
adalah masyarakat, tetangga dan teman-teman disekitar perkampungan siswa
tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh yang serba kekurangan dan
anak-anak pengangguran akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling
tidak siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar, berdiskusi
atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
2) Lingkungan Nonsosial
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial adalah
gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya,
alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang digunakan siswa.
c. Faktor Pendekatan Belajar
Di samping faktor-faktor internal dan
eksternal siswa sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, faktor pendekatan
belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar siswa
tersebut. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep misalnya, mungkin sekali berpeluang
untuk meraih prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan
pendekatan belajar surface atau reproductive.
5.
Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pada dasarnya pola pelaksanaan
pendidikan islam dapat menggabungkan dalam waktu bersamaan antara pendidikan
kejiwaan dengan pembersihan jiwa, menumbuhkan kecerdasan pikiran dan memperkuat
jasmani.
Pendidikan agama islam dimulai dari
keluarga, dimana anak-anak menerima pengaruh dari apa yang dilakukan oleh kedua
orang tuanya dengan cara meniru dan menerima pelajaran.
”Pendidikan agama islam adalah pendidikan dengan melalui
ajaran-ajaran agama islam yaitu berupa bimbingan dan usaha terhadap anak didik
agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati,
dan mengamalkan ajaran islam yang diyakini secara menyeluruh, serta menjadikan
ajaran agama islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan
kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.”[32]
Pendidikan dalam bahasa yunani disebut peodagogis yang berarti bimbingan kepada
anak istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa inggris education yang berarti perkembangan atau
bimbingan.
6. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam
meliputi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara hubungan manusia
dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, serta hubungan manusia dengan makhluk lain dan
lingkungannya.
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam
juga identik dengan aspek-aspek Pengajaran Agama Islam karena materi yang
terkandung di dalamnya merupakan perpaduan yang saling melengkapi satu dengan
yang lainnya.
Apabila dilihat dari segi pembahasannya
maka ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang umum dilaksanakan di sekolah
adalah:
a.
Pengajaran Keimanan
Pengajaran Keimanan berarti
proses belajar mengajar tentang aspek kepercayaan. Inti dari pengajaran ini
adalah tentang rukun iman. Menurut rumusan para ulama tauhid, iman berarti
membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lidah akan wujud dan keesaan
Allah.
“Karena ilmu ini aqidah islam, maka ilmu ini
disebut juga ‘Ilmu Aqidah’ atau ‘Aqaid’ (Aqidah jamaknya Aqaid). Karena yang dibicarakan dalam ilmu ini ialah
masalah kepercayaan, keimanan pada wujud dan keesaan Allah, para ulama
menganggap bahwa yang dibicarakan itu merupakan prinsip pokok dalam agama
islam. Tanpa beriman orang tidak dapat dianggap beragama. Karena itu ilmu ini
disebut juga ‘Ilmu Ushuluddin’ (Ushuluddin = pokok agama)”[33]
b.
Pengajaran Akhlak
Pengajaran akhlak adalah
pengajaran yang mengarah pada pembentukan jiwa, cara bersikap individu pada
kehidupannya. Pengajaran ini berarti proses belajar mengajar dalam mencapai
tujuan agar yang diajarkan berakhlak baik. Artinya orang atau anak yang diajar
itu mempunyai bentuk batin yang baik
menurut ukuran nilai ajaran islam.
c.
Pengajaran Ibadah
Pengajaran ibadah adalah
pengajaran tentang segala bentuk ibadah dan tata cara pelaksanaannya, tujuannya
agar siswa mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan benar. Mengerti segala
bentuk ibadah dan memahami arti dan tujuan pelaksanaan ibadah. Materi ibadah
itu meliputi: “Thaharah (bersuci), shalat (sembahyang), puasa, zakat, haji, dan
‘athiyah (pemberian).”[34]
Karena luasnya ruang lingkup
pengajaran ibadah ini. Meliputi semua rukun islam. Membicarakan hal-hal yang
wajib, sunah, yang dapat membuat ibadah itu syah atau batal, rukun, syarat, dan
kaifiyatnya.
d.
Pengajaran Fiqih
Dilihat dari segi ilmu
pengetahuan yang berkembang dalam kalangan ulama islam, fiqih itu ialah ilmu
pengetahuan yang membicarakan/membahas/memuat hukum-hukum islam yang bersumber
pada Al Qur’an.
Di samping hukum, ilmu fiqih
membicarakan hubungan yang meliputi kedudukannya, hukumnya, acaranya, alat, dan
sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah:[35]
1)
Hubungan manusia dengan Allah
2)
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
3)
Hubungan manusia dengan tetangga dan keluarganya
4)
Hubungan manusia dengan orang lain yang seagama dengan dia
5)
Hubungan manusia dengan orang lain yang tidak seagama dengan
dia
6)
Hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain seperti
binatang dan lain-lain
7)
Hubungan manusia dengan benda mati dan alam semesta
8)
Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya
9)
Hubungan manusia dengan akal pikiran dan ilmu pengetahuan
10)
Hubungan manusia dengan alam gaib seperti setan, iblis,
surga, neraka, alam barzakh, yaumil hisab dan sebagainya.
e.
Pengajaran Al Qur’an
Pengajaran Al Qur’an adalah
pengajaran yang bertujuan agar siswa dapat membaca Al Qur’an dan mengerti arti
kandungan yang terdapat disetiap ayat-ayat Al Qur’an.
Isi pengajaran Al Qur’an itu
meliputi:[36]
1)
Pengenalan huruf hijaiyah, yaitu huruf Arab dari Alif sampai
dengan Ya (alifbata)
2)
Cara menyembunyikan masing-masing huruf hijaiyah dan
sifat-sifat huruf itu, ini dibicarakan dalam ilmu Makhraj
3)
Bentuk dan fungsi tanda baca, seperti syakal, syaddah, tanda
panjang (maad), tanwin dan sebagainya.
4)
Bentuk dan fungsi tanda berhenti baca (waqaf), seperti waqaf
mutlak, waqaf jawaz, dan sebagainya.
5)
Cara membaca, melagukan dengan bermacam-macam qiraat yang
dimuat dalam ilmu Qiraat dan ilmu Nagham.
6)
Adabut tilawah, yang berisi tata cara dan etika membaca Al
Qur’an sesuai dengan fungsi bacaan itu sebagai ibadah.
[1]
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). h. 778
[2]
Ibid., h. 351
[3]Pamoengkas, Pengaruh
Pola Kehidupan Social Terhadap Hasil Belajar Siswa, http://id.shvoong.com , 8 oktober 2012
[4]Eki
Jatmiko, Dampak Drama Korea Terhadap Pola
Hidup Siswa, http://eki-jatmiko.blogspot.com,
14 Januari 2013
[5]
Mohamad Shochib, Pola Asuh Orang Tua
dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), h. 124
[6]
Sahlan Syafei, Bagaimana Anda dalam Mendidik Anak Anda, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006), Cet. ke-2, h. 68
[7]
Ibid.,
[8]
Ibid., h. 31
[9]Pamoengkas, Pengaruh
Pola Kehidupan Social Terhadap Hasil Belajar Siswa, http://id.shvoong.com , 8 oktober 2012
[10]
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam. (Solo:
Insan Kamil, 2012), h. 87
[11]Febri, Keuntungan Dan Manfaat Penerapan Pola Hidup Sehat, http://lovehugandkisses.blogspot.com, 15 Oktober 2008
[12]
Ibid.,
[13]
Ibid.,
[15]
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru dan Dosen,
(Bandung: Citra Umbara,2011) Cet. ke-VI, h.61
[16]
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (IPI),
(Bandung: CV.Pustaka Setia, 2005), Cet. ke-3,
h. 111
[17]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2008) cet. ke-6, h. 77
[18]
Ibid., h. 77 et.seqq
[19]
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru dan Dosen,
(Bandung: Citra Umbara,2011) Cet. ke-VI, h.67
[20]
Ibid.,
[21]
Ramayulis, Op.cit., h.118 et.seqq
[22]
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) cet. ke-5, h. 2
[23]
Nashar, Peranan Motivasi dan Kemampuan
Awal dalam Kegiatan Belajar, (Jakarta: Delia Press, 2004), cet. ke-2, h. 49
[24]
Ibid., h. 51
[25]
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
h. 65 et.seq
[26]
Nashar, Op.cit., h. 77
[27]
Ibid., h.53
[28]
Ibid., h. 54
[29]
Muhibbin Syah, Op.Cit,. h.144
[30]
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan,
( Jakarta: Rajawali Pers, 2002) cet. ke-11, h. 160
[31]
Slameto, Op.Cit., h. 180
[32]
Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2008), h.86
[33]
Zakiah Daradjat dkk , Metodik Khusus
Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. ke-5 h. 64
[34]
Ibid., h. 74 et.seqq
[35]
Ibid., h. 79
[36]
Ibid., h. 91